“KAYU YANG TERTANCAP PAKU”. ….

Setiap manusia tidak ada yang lepas dari salah dan khilaf. Sudah  menjadi kewajiban kita untuk senantiasa minta maaf atas kesalahan yang kita lakukan dan dengan lapang dada pula untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain. Di momen yang  sangat berbahagia ini, masih dalam suasana Idul Fitri tak ada salahnya  sedikit saya ulas tentang  “memaafkan”. ….
Kita semua pasti pernah merasakan yang namanya sakit hati, baik itu karena ucapan ataupun  perbuatan orang lain. Menjadi hal yang sangat sulit untuk menghapus rasa sakit hati tersebut  terlebih lagi untuk dapat memaafkannya. Kadang butuh waktu yang sangat lama untuk dapat melupakan atau bahkan seumur hidup pun tidak akan pernah terlupakan rasa sakit hati tersebut. Dan memang ini menjadi hal sangat umum terjadi saat ini……….. Nauzubillahi min zalik.
Pengertian memaafkan tentu tidak hanya sekedar terucap kata  maaf saja dari ujung bibir. Maaf yang sesungguhnya adalah “menghilangkan segala bekas kesalahan yang ada di dalam hati”. Tentu bukan hal yang mudah…………dan mungkinkah ???
Kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imraan [3]:134)
” …..dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. An Nuur [24] ; 22)
” Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. .” (QS. Al A’raaf [7] ; 199)
Dan berikutnya hadist-hadist tentang memaafkan :
Dari Uqbah bin Amir, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Sabda Rasullulah, “Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan.”
(HR: Muslim)
Nabi SAW bersabda : “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan kepadanya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a]
Lantas bagaimana caranya untuk dapat “menghilangkan segala bekas kesalahan (orang lain) yang ada di dalam hati” ? Teringat diskusi dengan sahabat saya yang kebetulan sering dimarahi atasannya (Kerja di kantor tidak ada hari lain selain “senen” karena sering “diseneni” atasannya…..hehehe).
Bahwa ketika seseorang disakiti itu bagaikan “kayu yang tertancap paku”. Kalaupun paku itu dapat dicabut maka bekasnya masih akan terukir di kayu tersebut. Dan bekas itu tidak mungkin akan hilang. Semakin besar dan dalam paku yang digunakan maka kemungkinan bekasnya akan semakin besar dan dalam pula. Bahkan bisa jadi akan semakin sulit untuk dapat mencabutnya. Itulah yang terjadi diantara kita………kalaupun terucap kata maaf atau memaafkan hanya sebatas diujung bibir saja….bekas noda masih akan ada dan itu akan kembali memanas ketika timbul hal lain yang meletupnya.
Lantas apa makna dari “Idul fitri (kembali bersih) yang sebenarnya” ketika banyak orang mengadakan acara “halal bi halal” setelah lebaran yang tiada lain adalah berharap tiap orang untuk dapat saling memaafkan kesalahan orang lain ? Ada dua cara sebenarnya untuk dapat menghilangkan  ”bekas noda paku” tersebut diatas :
Yang pertama adalah dengan cara “didempul” sehingga kayu tersebut kembali baik seperti semula, bekas paku akan dapat tersamarkan. Dan ini yang banyak terjadi “memaafkan hanya sekedar pemanis bibir saja”.
Yang kedua adalah dengan cara “mengganti dengan kayu yang baru”. Kayu yang sudah penuh dengan bekas-bekas paku ataupun dengan paku yang masih tertancap kita buang dan kita ganti dengan kayu yang baru. Kita pilih kayu yang kuat (bila perlu “kayu besi” yang banyak digunakan oleh orang di Kalimantan untuk membangun rumah di atas sungai). Kayu yang kuat inilah yang diharapkan tahan dari segala ancaman “tusukkan paku”. Bukannya kayu yang membekas tetapi justru pakunya yang bengkong atau patah ketika mencoba menencapkan di kayu kita yang baru.
Setelah satu bulan penuh melalui bulan Ramadhan………bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan kita telah digembleng untuk dapat menahan hawa nafsu, membersihkan diri dari segala rasa iri, dengki dan sakit hati maka seyogyanya kita sudah memiliki “kayu-kayu besi” tadi…..kita sudah membuang jauh-jauh kayu yang penuh dengan paku dan bekasnya. Kita sudah siap dan dapat memaafkan dengan maaf yang sebenarnya. Memaafkan dengan menghilangkan segala bekas kesalahan orang lain dalam hati kita…..memaafkan dengan penuh ikhlas semata-mata mengharap ridhoNya. Dan itulah memaafkan yang sejati.

Taqoballahu minna wa minkum, taqobal ya karim. Minal aidin wal faidin. Mohon maaf lahir batin. Selamat Hari Raya Idul fitri 1429 H

MEMBUKA “NURANI, INDRA DAN MATA HATI” … .

Hidup manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan. Manusia sendirilah yang menentukan pilihan hidupnya. Apakah mau melangkah mengikuti jalan yang lurus atau berliku, jalan kebenaran atau kebatilan, jalan menuju keridhoan Allah atau jalan kesesatan.
Namun demikian……… keputusan Allahlah yang paling menentukan jalan hidup seseorang. Itulah yang namanya “hidayah”.. . Hidayah bisa turun kapan saja dan dimana saja….tidak melihat kaya atau miskin….tua atau muda……pejabat atau rakyat jelata. Bisa jadi hidayah turun ketika menjelang ajal atau bahkan hingga ajal terenggut pun hidayah tidak diperoleh………. .
Di samping meyakini bahwa kehendak Allah mutlak dalam memberi hidayah atau menyesatkan seseorang, kita tidak boleh melupakan bahwa Allah SWT juga bersifat Maha Adil dan Bijaksana. Maka tidak mungkin Allah SWT menyesatkan orang yang berhak mendapatkan hidayah dan tidak mungkin pula memberi hidayah kepada orang yang berhak mendapat kesesatan. Tetapi siapakah yang mereka yang dikendaki oleh Allah mendapatkan kesesatan, dan siapa pula mereka yang dikendaki-Nya untuk mendapatkan hidayah?
Orang-orang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan hidayah adalah mereka yang membuka hatinya kepada hidayah Allah………..mereka yang membuka akal dan pikirannya kepada kebenaran, mengakui suatu kebenaran, yang menerima kebenaran dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada agama-Nya dengan penuh ketaatan dan penyerahan. Mereka inilah yang akan ditolong oleh Allah untuk mendapatkan hidayah……mereka inilah yang akan ditambah keimanan dan petunjuk di dalam kehidupan ini.
Allah berfirman :
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS Muhammad :17)
Nah orang-orang yang dikehendaki Allah SWT untuk mendapatkan kesesatan, adalah mereka yang lari dari kebenaran, tidak mengakui ataupun menolak kebenaran, mencela sunah-sunah Rosul, gemar melakukan bid’ah, berpaling dari petunjuk dan menutup semua pintu yang ada dalam dirinya untuk masuknya hidayah. Mereka “tuli nuraninya”, “bisu indranya” dan “buta mata hatinya”.  Kalau mereka mengingkari kebenaran dari Allah maka bagaimana Allah akan memberi hidayah kepada mereka.
Kita lihat dengan kondisi saat ini…..ketika seseorang mengupayakan suatu kebenaran entah itu ucapan atau perbuatan justru mendapat cibiran, cemoohan, umpatan…….dianggap hal basi yang sudah seharusnya dimasukkan ke tong sampah……..tampak begitu banyak orang yang dengan mudahnya menolak suatu kebenaran, hilang rasa kejujuran dengan lebih memberatkan kepentingan duniawi………. tidak peduli terhadap perintah Allah (berarti: buruk kelakukan, jahat, berdosa besar)………. begitu banyak orang yang percaya kepada Allah SWT tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan perbuatan dosa adalah hal biasa………masya Allah.
Allah SWT berfirman :
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Baqarah : 264)
“Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 108)
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah : 258)
Semoga kita kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang “tuli nuraninya”, “bisu indranya” dan “buta mata hatinya”  karena mereka adalah orang-orang kafir, fasik dan zalim yang tidak akan mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Yuk kita buka “nurani, indra dan mata hati” kita untuk mendapat hidayah Allah SWT… .
 (Dirangkum dari berbagai sumber)

“KETIKA JAUH JADI MALAIKAT, KETIKA DEKAT JADI MANUSIA DAN KETIKA MENJALANI MENJADI SETAN”

Bulan Ramadhan ……bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan……. .
Teringat sepenggal cerita di bulan Ramadhan dari istriku beberapa tahun yang lalu yang mengkisahkan acara buka bersama keponakan di  sekolahnya,  sebuah PAUD di kota Gedeg…..Jogja.
Dalam sebuah acara buka bersama sang guru berceramah bahwa dalam kehidupan saat ini manusia memang memainkan perannya masing-masing tetapi yang sering terjadi perilakunya sesuai dengan kedudukkannya sehingga munculah istilah : “KETIKA JAUH JADI MALAIKAT, KETIKA DEKAT JADI MANUSIA DAN KETIKA MENJALANI MENJADI SETAN” …..penjelasan aslinya tentu dengan bahasa yang sangat sederhana, mengingat sasarannya adalah anak-anak PAUD……berikut ini saya ingin  mengulasnya lebih jauh :
KETIKA JAUH dari kedudukkan atau jabatan dengan lantangnya seseorang  mengutarakan kolusi, korupsi, nepotisme atau apapun istilahnya. Menjadi narasumber dalam berbagai diskusi tentang korupsi menjadi acara rutin keseharian. Bak makhluk tanpa dosa dengan berbagai dasar dan argument yang seolah-olah fakta, dibeberkanya semua aib pejabat dengan kasus korupsi yang sedang menjadi sorotan masyarakat luas. Perilaku munafiknya diumbar dimana-mana. Tidak jarang demontrasipun dia lakukan sebagai upaya protes keras. Atas nama rakyat….atas nama keadilan…….demi hak asasi manusia dan lain sebagainya…..menjadi kosakata utama. Tidak peduli panas terik, hujan lebat, jalanan jadi macet, tenggorokkan kering karena harus teriak-teriak, demo tetap jalan terus bahkan waktu sholatpun sering terabaikan…..masya Allah. Bak makhluk tanpa dosa yang merasa suci bersih dia berbicara dan berbuat seolah sebagai “MALAIKAT”.
عن عبد الله بن عمرو -رضي الله عنه- أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال:
( أربع من كن فيه كان منافقا خالصا، ومن كانت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: إذا ائتمن خان، وإذا حدث كذب، وإذا عاهد غدر، وإذا خاصم فجر )
البخاري (ح 34) مسلم (ح 58)
Dari Abdullah bin Amru ra., Nabi saw. bersabda: “Empat perangai apabila berada pada seseorang akan menjadikannya munafik tulen, dan apabila salah satunya berada pada seseorang, akan menjadikannya mempunyai salah satu sifat orang munafik, sampai meninggalkannya. Yaitu: Apabila diberi amanat ia khianat, apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia ingkar dan apabila bertikai ia berlaku curang.” Bukhari (34), Muslim (58)
KETIKA DEKAT dengan kedudukkan atau pejabat…….sebagai bawahan pejabat maka yang terjadi adalah “sendiko dhawuh” apa kata atasannya. Kata-kata… “Siap laksanakan”………menjadi hal wajib. Ia mulai melupakan demo-demonya dahulu……..omongannya tentang korupsi, kolusi dan nepotisme seolah hanya kenangan masa lalu…………karena saat ini dia sudah terlibat dalam sistem tersebut. Mulutnya seolah  terkunci karena sadar atau tidak dia sudah mulai merasakan nikmatnya uang haram…..sedikit demi sedikit racun haram sudah mulai merasuk dalam dirinya……tumbuhlah benih pribadi yang mulai menghalalkan yang semula disebutnya haram. Sanubarinya mulai bermetamorfose sehingga melakukan perbuatan dosa baginya adalah hal biasa………..bahkan ia mulai merasa bangga dan bahagia dengan rejeki  haramnya.  Jadila dia seorang “MANUSIA” dengan segala kelemahannya.
KETIKA MENJALANI………..tatkala dia menduduki jabatan maka perilakunya sudah berubah 1800 dibandingkan saat mengisi acara diskusi KKN ataupun demo dulu. Bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme  yang kini dilakukannya sudah SUNGGUH SANGAT AMAT LUAR BIASA SEKALI dibandingkan pejabat yang dulu didemonya. Menghalalkan segala cara sudah menjadi menu hariannya. Untuk makan tidak sekedar nasi dan lauk-pauk……semen, aspal, kertas (berwujud uang), mobil mewah menjadi makanan pokoknya…..minyak bumi pun diminum untuk menambah kesegarannya…….bahkan “darah manusia” bila perlu ikut dihisapnya. Tidak peduli halal atau haram yang penting senang dan senang. Kini perangainya sudah berubah menjadi  “SETAN”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan firman-Nya:
يَابَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ {

208}

 Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS.Al-Baqarah : 208 )

Manusia memang memainkan perannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita memainkan peran tersebut dengan tetap mendasarkan pada Quran dan Hadist. Jangan sampai istilah : “KETIKA JAUH JADI MALAIKAT, KETIKA DEKAT JADI MANUSIA DAN KETIKA MENJALANI MENJADI SETAN” menjadi kenyataan dalam diri kita.  Nauzubillahi min zalik.

“BOTTOM UP” BUKAN “TOP DOWN”. …

Setiap orang mengharapkan memperoleh seorang pemimpin jujur, adil, santun dan bijaksana padahal tanpa disadari masih banyak diantara kita sendiri masih begitu jauh dari sifat-sifat tersebut. Padahal sebenarnya “ perilaku pemimpin tercermin dari perilaku rakyatnya”.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan :

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka.

Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan   hak-hak   rakyat dan    enggan  menerapkannya.   Jika   dalam   muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya  serta  akan membebani mereka  dengan  tugas yang berat.  Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh  pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.

Setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak.

Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.”

Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?
‘Ali menjawab,

“Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11)

(Dinukil dari buku Ustadz Yazid bin Abdil Qodir Jawas, Nasehat Perpisahan, hadits Al ‘Irbadh)

Musibah ataupun bencana yang kita alami bukalah akibat perilaku pemimpin semata tetapi akibat ulah dan perilaku kita sendiri.

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’ [4] : 79)

Untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah pemimpin yang ada……….perubahan perilaku dari  “BOTTOM UP”  bukan “TOP DOWN”.  Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya,  jauhi perilaku iri, dengki, buruk sangka dan perilaku buruk lainnya. Dan akhirnya mulailah hijrah saat ini juga…. .

MENJAGA AMANAH… .

Amanah berarti jujur dan dapat dipercaya. Dari kata amanah ini lahir pemahaman bahwa kejujuran akan memberi rasa aman bagi semua pihak sehingga lahir rasa saling percaya. Saat seseorang memelihara amanah sama halnya dengan menjaga harga dirinya.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi yang tidak amanah (tidak jujur dan tak bisa dipercaya), dan tidak ada dien bagi yang tidak menepati janji.” (HR Baihaqi).

Seseorang akan berhasil dalam meniti hidup ketika dia mampu menjaga harkat dan martabat dirinya. Dan itu artinya ia cerdas mengelola amanah. Ia jujur dengan kata hatinya. Apa yang ada di hati ia ucapkan. Dan apa yang diucapkan, sudah ia pikirkan dan istiqamah untuk diamalkan.

“Jika engkau miliki empat hal, engkau tidak akan rugi dalam urusan dunia: menjaga amanah, jujur dalam berkata, berakhlak baik, dan menjaga harga diri dalam (usaha, bekerja) mencari makan.” (HR Ahmad).

Di tengah kehidupan saat ini, amanah itu sudah banyak dilupakan, hanya sebatas tulisan diatas kertas, ataupun sebatas “pengantar tidur” ditengah-tengah pengajian. Banyak orang yang tidak lagi mempedulikan amanah, menganggapnya sebagai “barang usang”.  Perilaku menyimpang terjadi dimana-mana. Kasus korupsi kolusi & nepotisme sudah sangat jamak di masyarakat. Mulai dari kalangan “elit tingkat tinggi” hingga  “masyarakat termiskin sekalipun sudah begitu enjoy, tak mau kalah melakukannya. Korupsi tidak hanya berupa uang, yang “tak kasat mata”pun juga ikut disikat, termasuk didalamnya adalah korupsi  waktu.

 Rasulullah saw mengingatkan kepada setiap muslim agar selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya, ”Tunaikanlah amanat terhadap orang yang mengamanatimu dan janganlah berkhianat terhadap orang yang mengkhianatimu.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)Rasulullah saw menggambarkan orang-orang yang tidak memegang amanah sebagai bukan orang yang beriman dan tidak memiliki agama. Bahkan lebih jauh lagi, orang-orang yang selalu melanggar amanah digambarkan sebagai orang munafik.“Tidak beriman orang yang tidak memegang amanah dan tidak ada agama orang yang tidak menepati janji”(HR ad-Dailami)“Tanda orang munafik itu ada tiga macam: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, dia mengingkari; dan jika diberi kepercayaan, dia khianat” (HR Ahmad).

Dengan memiliki sifat amanah, seseorang akan selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga amanah yang diberikan kepadanya, sekaligus berusaha sekuat tenaga mempertanggungjawabkan apapun yang dititipkan kepadanya.

Menjaga amanah berlaku bagi semua orang. Terlebih bagi pegawai negeri yang banyak menjadi sorotan masyarakat, memikul beban yang tak kalah beratnya. Amanah yang diberikan “negara” kepadanya  harus dipertanggungjawabkan dengan kerja keras dan disiplin. Kerja keras melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Disiplin waktu kerja, baik ketika masuk pagi maupun ketika pulang disiang hari. Penyakit kronis yang selama ini banyak diderita “oknum tertentu” mulai dari “asma” (asal masuk), “kudis” (kurang disiplin), “kurap” (kurang rapi) sudah selayaknya untuk dihilangkan demi menjaga amanah.

Apa yang harus kita lakukan agar kita dapat menjaga amanah yang diberikan kepada kita :

Membangun akhlak kita dengan bertanggung jawab terhadap setiap amanah. Jauhi perilaku tercela, baik berupa mark up, suap menyuap, laporan palsu / ABS, menerima komisi ataupun pemberian sebagai ucapan terimakasih, anggaran fiktif, tidak disiplin terhadap waktu kerja, titip absen, korupsi, pungutan liar (pungli) dan perilaku-perilaku curang lainnya.

Pastikan tidak ada uang haram di dalam diri kita.

Dengan perilaku ini, insya Allah, kita akan sangat bahagia, terhormat, dan rezeki kita akan dicukupi oleh Allah Swt.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad saw) dan janganlah kalian mengingkari amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kalian mengetahui” (QS Al-Anfaal: 27).

Barang siapa yang mengkhianati amanah, bukanlah dari golongan kami (H.R. Abu Dawud)

Ibnu Mas’ud ra berkata: “Yang pertama kali tercabut dari dien kalian adalah amanah, dan yang terakhir tercabut adalah sholat, akan banyak kaum yang melaksanakan sholat padahal tak ada lagi (nilai) dien
mereka -sebab mereka tidak Empat hal jika semuanya ada pada  diri seseorang, maka ia munafiq tulen, jika ada salah satunya maka dia berada dalam cabang kemunafikan sampai ia meninggalkan perbuatan berikut:

[1] Jika diamanati (dipercaya) ia khianat,  [2] jika berbicara dia berdusta, [3] kalau berjanji dia mengingkari, [4] kalau dia bertengkar dia curang (kasar, aniaya, mau menang sendiri tak mau mengikuti
kebenaran) H.R. Al Bukhary

Ingatlah tanpa amanah akan menjerumuskan seseorang kepada ciri-ciri orang munafik.

Saidina Abu Bakar pula ketika menyampaikan ucapan dasar selepas dilantik sebagai khalifah ada menyatakan:

“Kejujuran adalah suatu amanah dan kedustaan adalah suatu khianat”.

Sadarkah kita bahawa amanah pernah Allah tawarkan kepada langit dan bumi, tetapi kedua-duanya menolak, lantaran beratnya tanggungjawab menjaga amanah Allah itu serta bimbang akan mengkhianatinya.

Ibnu Hatim menceritakan bahwa Mujahid berkata apabila Allah jadikan langit dan bumi lalu dibentangkan kepada mereka amanah. Namun, kedua-duanya menolak tawaran Allah itu. Akan, tetapi apabila dijadikan Nabi Adam a.s, amanah itu ditawarkan pula kepadanya.

Nabi Adam berkata: “Apa ini, ya Tuhan?” Jawab Allah: “Ini jika kamu tunaikan dengan baik akan diganjarkan pahala, tetapi seandainya kamu cuai, kamu akan diazab”. Kemudian Nabi Adam berkata: “Aku sanggup menanggungnya”.

Surah Al-Ahzab ayat 72 :

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah (Kami) kepada langit dan bumi dan gunung-ganang (untuk memikulnya), maka mereka enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khuatir akan mengkhianatinya dan dipikul oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara yang tidak patut dikerjakan”.

Surah al-Qasas ayat 36 :

“Sesungguhnya sebaik-baik orang hendak engkau ambil untuk bekerja ialah yang kuat (berkemampuan)  dan amanah (dipercayai)”.

Dalam membicarakan tentang sifat amanah ketika bekerja, seseorang pekerja wajib memenuhi kedua-dua amanah kepada Allah SWT dan amanah sesama manusia.

Akhirnya…….kita mengetahui bahwa segala bentuk penyimpangan saat ini disebabkan oleh rendahnya komitmen untuk menjaga amanah. Padahal……..menjaga amanah merupakan komponen penting di dalam kehidupan ini. Bila tidak ada amanah akan muncul saling ketidakpercayaan antara satu dan lainnya sehingga menjaga amanah adalah suatu kewajiban.

Yuk…… kita jaga amanah yang diberikan kepada kita….insya Allah.

(Diolah dari berbagai sumber)

GANTUNGKANLAH CITA-CITAMU SETINGGI LANGIT

Kata “cek gu” (meminjam istilah Upin-Ipin untuk menyebut gurunya)  : Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Masih ingat waktu kecil dulu anak prasekolah (PAUD/TK) pasti akan ditanya  cita-citamu apa Dik ? atau Besok kalo udah besar mau jadi apa Dik?…………. . Umumnya anak kecil akan menjawab :  dokter, guru, pilot, polisi, tentara atau insinyur pertanian karena pemerintah dulu emang menggalakkan betul sektor pertanian untuk menunjang perekonomian.
Tidak heran dulu banyak muncul fakultas pertanian dan peminatnyapun bisa dikatakan “mbludak” alias berlebih. Tapi berbeda 1800 dengan kondisi saat ini, bisa dikatakan ga ada anak kecil yang kalo ditanya cita-citanya ingin jadi insinyur pertanian sehingga tidak heran banyak fakultas pertanian yang “tutup” karena sepi peminat. Pernah saya tahu di sebuah fakultas pertanian universitas swasta peminatnya hanya 5 orang….kaya les privat aja…hehehe.  Dulu juga sangat jarang sekali yang ingin jadi presiden atau bisa dikatakan “tidak ada” karena presidennnya emang enggak untuk diganti alias ituu…u terus…hehehe….(maaf ya pak)…..berbeda dengan sekarang “dari anak kecil hingga kakek-nenek” semua ingin jadi presiden…. , sayangnya “sak Indonesia”  cuma dibolehkan ada satu presiden….. .kacian deh yang ga kepilih…. . hehehe.
Tiap orang memang hendaknya memiliki cita-cita karena dari cita-cita itulah akan mengarahkan  kemana tujuan hidup yang akan dicapai. Maksudnya  jelas yaitu agar memacu kita untuk bekerja dan berusaha giat untuk mencapai prestasi setinggi-tingginya.
Entah siapa yang pertama kali mengarang atau menginspirasi munculnya peribahasa tsb tetapi yang jelas peribahasa tersebut memiliki “filosofi yang tinggi”. Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Kata “setinggi langit” memiliki makna yang mendalam. Kalau oleh anak kecil lebih dimaknai sebagai jabatan atau profesi  sehingga munculah cita-cita jadi dokter, presiden , guru, polisi atau tentara. Tetapi sesungguhnya  bisa juga dimaknai sebagai cita-cita hidup atau tujuan hidup yang sesungguhnya, tujuan  pencapaian akhir manusia yang tiada lain adalah surga Illahi.
Upaya untuk mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya hanyalah bisa dicapai dengan ibadah, sebagian menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah melaksanakan amalan-amalan dan ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat, puasa dan bermacam-macam zikir.
Apakah hakikat ibadah dan penyembahan hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak. Karena doa hanyalah bagian dari ibadah. Setiap gerakan dan perbuatan positif yang dilakukan oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan tersebut harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi.
“Sesungguhnya salat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)
Sehingga definisi dari Polisi yang bekerja siang malam memburu teroris, menghalau huru-haru, walaupun sering harus “kena timpuk batu” para demonstran. Pak Tentara yang memerangi para pemberontak, kadang harus menerima resiko ditembakin sniper (kasus di Freeport Papua). Dokter, perawat dan bidan IGD yang harus siaga jaga malam, dengan seluruh daya dan konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa manusia (terimakasih buat temen-temen Pusk.Cebongan). Petani yang harus telaten merawat  dan mengairi sawahnya, setiap pagi dan petang menghalau burung “emprit” yang memakan padinya.  Guru SD kelas satu yang harus “super sabar” dan “gregetan” karena tingkah-polah muridnya yang “tidak jenak” di dalam kelas,  selak pengen main bola….apa aja ditendang….hehehe…(kayak anak saya) jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap saat baginya berada dalam keadaan ibadah.
Ringkasnya “Gantungkanlan cita-citamu setinggi langit” bisa dimaknai  sebagai upaya untuk mencapai tujuan akhir hidup yaitu surga Illahi. Cita-cita manusia yang sesungguhnya adalah pencapaian surga Illahi, profesi yang disandang atau jabatan yang diperoleh hanyalah sebagai sarana semata.
Yuk kita Gantungkan cita-cita setinggi langit….. . insya Allah.

TIDAK UNTUK SEKEDAR DIBACA

Saudaraku… .
Akan kau bawa kemana dirimu ini? Saat ini?  Sekarang ini juga? Hari sudah mulai senja tetapi mengapa engkau tidak segera berkemas…Mengulur-ulur waktu tanpa tujuan jelas. Penuh angan-angan hampa dan tertipu dengan indahnya fatamorgana dunia.Tidakkah engkau ingat akan ajal yang terus mendekat setapak demi setapak.  Ia tidak akan berhenti walau sesaat yang semakin lama semakin dekat… dekat dan mendekat. Padahal apa yang telah engkau hasilkan selama ini hanyalah untuk dikubur. Apa yang telah engkau bangun pasti akan hancur. Semua jerih payahmu sia-sia tanpa makna.  Engkau tahu bahwa semua perilakumu telah dicatat untuk disimpan dan akan diberikan pada hari hisab.Cobalah untuk bercermin dan pandang baik-baik jasad yang ada dihadapanmu. Dengan berjalannya waktu jasad itu akan berubah. Ia pula nanti yang akan ditimbun dengan tanah. Ia akan dihadapkan pada Sang Robnya setelah hancurnya dunia dan seisinya.

Dan yang pasti ia pulalah yang akan dimintai pertanggungjawaban akan semua perbuatan yang berujung kepada kesengsaraan tiada tara atau kebahagiaan selamanya.
(Dikutip dari : Anonim PIA)

MODUL BELAJAR

Hidup adalah pembelajaran, dari perjalanan hiduplah seseorang akan  mengerti makna hidup. Pelajaran  hidup yang hakiki sesunguhnya telah tersaji bila kita jeli dalam meniti hidup ini. Belajar dari masalah yang terus  silih berganti menapaki perjalanan hidup. Pengalaman hidup bertambah tahun demi tahun seiring dengan bertambahnya usia. Orang bijak mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru yang terbaik”.  Tersebutlah istilah  “banyak makan asam garam”. Tak lain karena memang asam-garam atau ….. manis dan pahitnya hidup itulah yang akan menandai tingkat kematangan jiwa.
Firman Allah لا يكلف الله نفساً إلا وسعها , bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286).
الإرادة القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب والآلام. وأن الإرادة الضعيفة عاجزة حتى مع وجود الوسائل والإمكانيات.”
“Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan, walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan. Sebaliknya, kemauan yang lemah menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu tersedia.”
Seorang mukmin tentu berbeda dalam menyikapi berbagai kesulitan hidup yang dihadapinya. Mereka memahami bahwa kesulitan atau ujian diberikan oleh Allah dalam rangka menguji hamba-Nya. Dan mereka tahu bahwa kesulitan itu dibuat untuk membedakan antara mereka yang benar-benar beriman dan mereka yang memiliki penyakit di hatinya, yaitu mereka yang tidak tulus dalam meyakini keimanan mereka. Karena itu, ujian atau kesulitan yang hadir dalam kehidupan kita akan menunjukkan siapakah kita sebenarnya.
 “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 142)
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)….”(al-Baqarah: 179)
Ketika membaca terjemahan ayat tersebut, hendaknya semakin menambah kesadaran kita bahwa kehidupan ini memang dipenuhi dengan aneka masalah dan berbagai kesulitan. Karena dunia ini merupakan Darut Taklif, maksudnya adalah tempat pembebanan. Tidak ada seorang pun yang terbebas dari masalah selama mereka hidup di dunia. Dan sungguh merugi orang yang larut dalam kesedihan, kesedihan yang panjang justru akan semakin menyulitkan diri dalam menghadapi masalah. Hanya dengan keberanian untuk bangkit dan bersabar, kesulitan itu akan terasa mudah. Berbahagialah orang yang mampu bersabar dalam menghadapi setiap kesulitan hidup, karena Allah beserta orang-orang yang sabar.
 ”Seorang hamba justru bisa menjadi sangat sibuk merasakan kasih sayang-Nya, saat ia menghadapi penderitaan yang berat. Dia berpikir seperti itu karena yakin bahwa itu adalah pilihan terbaik yang ditetapkan Allah kepadanya.” (Ibnul Qayyim)

Karena itulah Allah swt. menyebutkan sikap mereka dalam Al-Qur’an:

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa, ada pahala yang besar.” (Ali Imran: 172)
Nabi saw. mengajarkan kita untuk berdoa:
اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل، وأعوذ بك من الجبن والبخل، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال
“Ya Allah, aku berlindungan kepadaMu dari rasa sesak dada dan gelisah, dan aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepadaMu dari dilingkupi utang dan dominasi manusia.”
Rasulullah saw. juga bersabda:
للمؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير، احرص على ما ينفعك
واستعن بالله ولا تعجز
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Segala sesuatunya lebih baik. Tampakanlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya.” (Muslim)
Sadar atau tidak banyak orang justru berusaha “menyingkirkan persoalan” yang dihadapi. Permasalahan yang dirasa cukup berat justru “dihindari sebisa mungkin”. Bukannya diupayakan untuk mencari solusi atau jalan keluar yang terbaik. Tetapi justru karena “takut gagal” atau “takut kehilangan”. Permasalahan-permasalah yang sebenarnya merupakan “modul belajar” yang diujikan Allah SWT  untuk hambaNya.
Yuk kita hadapi “modul belajar” yang Allah SWT ujikan kepada kita….. .insya Allah.

Dirangkum dari berbagai sumber lain. Diposkan oleh PRASIT A

“MAS SANTRI DI PESANTREN YA?”

Sepuluh tahun lebih sejak lulus dari pendidikan dan sudah hampir satu dekade pula melihat dari dekat kehidupan dalam “kawah candradimuka”nya para santri alias pesantren terlihat masih begitu miris rasanya bila memandang aspek kebersihan diri dan lingkungan……..

Bila kita simak ayat berikut :
{فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِين} [التوبة: 108]
Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang suka membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. [At-Taubah:108]
{وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ} [المدثر: 4]
Dan pakaianmu bersihkanlah, [Al-Muddatsir:4]
Demikian pula dalam hadist berikut :
“Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqas dari bapaknya, dari Rasulullah saw. : Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Mahamulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu” (HR. Tirmizi)”
Menjadi kontradiktif sekali bila ternyata dikalangan para santri (tentu tidak semua santri dan tidak semua pesantren .Penulis) insidensi kasus penyakit kulit masih begitu tinggi. Keluhan gatal-gatal  menempati urutan paling atas. Tidak heran penyakit seperti infeksi jamur kulit, kadas, kudis, pediculosis, scabies, borok, kutil, mata ikan dan berbagai penyakit kulit lainnya menjadi masalah  kesehatan yang tak ada habisnya.
Pernah suatu ketika datanglah seorang kakek mengantar cucunya untuk memeriksakan kesehatannya……. .
Berikut sekilas ceritanya :
Sang kakek menjelaskan bahwa cucunya sakit gatal-gatal sejak masuk dalam pesantren. Setelah diperiksa terlihat jelas bahwa penyakit scabiesislah yang menjadi penyebab gatalnya sang cucu. Dengan bangganya sang kakek juga menjelaskan bahwa keluhan seperti itu sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan pesantren, belum dikatakan santri kalau belum pernah menderita sakit seperti itu bahkan sang kakek menjelaskan lebih lanjut bahwa kakeknya dulu yang juga pernah “nyantri” juga mengalami sakit serupa………
(Sebenarnya masih ada beberapa kisah serupa yang saya jumpai dalam praktek sehari-hari)
Sungguh ironis menyimak sepenggal kisah tersebut bila kita hubungkan dengan ayat maupun hadist diatas. Gatal-gatal akibat scabies tentu identik dengan lingkungan yang tidak bersih. Lingkungan yang kotor, lembab menjadi tempat yang sangat disukai sarcoptes scabies (hewan kecil yang hanya bisa dilihat dengan alat bantu mikroskop yang menjadi penyebab penyakit scabiesis). Pesantren yang tentu didalamnya terdapat masjid dan asrama/rumah santri masih bisa dikatakan jauh dari bersih jika dilihat dari adanya penyakit tersebut. Betapa penyakit gatal-gatal (scabiesis) sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan “kudu” dialami dan juga itu sudah terjadi paling tidak dalam 6 generasi berturutan (dari kakeknya si kakek hingga cucunya kini)……..
Penyakit-penyakit lain yang juga berhubungan dengan kebersihan seperti infeksi jamur kulit, kadas, kudis, pediculosis, borok, kutil juga tak mau ketinggalan untuk menjangkiti lingkungan pesantren. Patut disayangkan bila hal ini dianggap hal yang lazim terjadi.
Celakanya keluhan tersebut juga dialami para ustadz yang nota bene menjadi guru santri.
Lucunya lagi ternyata para tenaga medis (dokter ataupun perawat) sudah sangat mahfum terhadap penyakit yang sering diderita para santri tersebut sehingga ketika menjumpai pasien dengan keluhan diatas pasti muncul pertanyaan “mas santri di pesantren ya?” suatu “cap buruk” kepada santri atau pesantren yang seharusnya menjadi panutan dalam kebersihan.
Tetapi nun jauh disana (dan ini insya Allah juga masih banyak terjadi tempat lain) memiliki kondisi yang sangat berbeda. Tepatnya sebuah pesantren di lereng gunung Lawu, pondok pesantren Iskarimah. Lingkungan dalam pesantren demikian tertata dengan apiknya, ketertiban dan kebersihan santri terlihat sangat jelas. Komitmen bersih tidak hanya dari para pimpinan pesantren tetapi dari seluruh civitasnya. Nuansa Islam itu bersih dan indah tampak sangat nyata.
Menjadi renungan bagi kita semua bahwa kesadaran untuk hidup bersih harus diawali komitmen kuat dari diri sendiri. Tanggung jawab utama tentu diemban oleh para pimpinan pesantren. Tanggungjawab untuk menjadikan pesantren dan santrinya bersih dan indah. Bagaimana menjadikan kebersihan diri menjadi sebuah kebutuhan untuk hidup sehat. Bagaimana menjadikan kebersihan untuk mengawali ibadah kepadaNya.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air) atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (menyetubuhi) perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [Al-Maidah:6]
Akhirnya kebersihan adalah untuk menyempurnakan nikmat Allah dan agar kita bersyukur……….insya Allah.

“MENCARI REJEKI HALAL”

Menjadi kewajiban bagi seorang kepala keluarga untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Upaya yang ditempuh tiap orang tidaklah sama. Kadang diperlukan upaya kerja keras  dan bersusah payah.
Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami)
Permasalahan kemudian muncul , seberapa halalkah rejeki yang Anda terima? Tentu sangat amat disayangkan bila hasil susah payah kita ternyata menghasilkan rejeki yang tidak halal. Bisa jadi sebagian kecil  rejeki yang tidak halal bercampur dengan rejeki lainnya yang halal.
Berbicara mengenai halal-haram rejeki yang kita terima bagaikan jalan tanpa ujung, tidak ada titik temu.  Masing-masing orang  memiliki dasar dan argumen  masing-masing. Masing-masing dengan dilandasi pola pikir yang berbeda yang lebih banyak didasarkan pada kebutuhan duniawi. Kebutuhan duniawi yang diwujudkan dalam gaya hidup. Gaya hidup yang ada seolah menjadi prioritas utama tidak peduli halal atau haramnya rejeki yang diterima. Dengan dalih “kebutuhan hidup” yang pada kenyataannya justru merupakan “gaya hidup”. Gaya hidup yang lebih mengedepankan “rasa tidak ingin dipermalukan bila dianggap ketinggalan jaman”. Seolah tidak peduli hari ini atau besok makan apa tetapi yang penting penampilan. Istilah “gaul” seakan menjadi kebutuhan pokok mengalahkan kebutuhan pokok yang sebenarnya.
Budaya lama yang sudah terjadi bertahun-tahun yang notabene menghalalkan yang haram seolah sudah menjadi hal yang sangat biasa atau lumrah untuk dilakukan. Belum lagi yang dianggap “abu-abu” atau samar, orang sudah memandang sebagai sesuatu yang halal. Singkatnya yang harampun dianggap halal bila itu sudah lumrah terjadi. Budaya itupun terjadi secara berkelanjutan diikuti oleh generasi-generasi berikutnya.
Simak  hadist berikut :
Orang yang mengharamkan sesuatu yang halal serupa dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram. (HR. Asysyihaab)
Seseorang yang semula kukuhpun karena “mau-tak mau”  hidup lama dalam “ekosistem” itupun kemudian  “luluh dan tenggelam” dan akhirnya” menikmati”.
Sadarkah Anda bila hal seperti ini tengah terjadi dilingkungan sekitar kita ? Layakkah kita untuk ikut  hanyut  dalam budaya seperti ini?
Suatu kewajiban bagi kita untuk mencari rejek yang halal :
Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Simak juga hadis berikut :
Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.” (HR. Bukhari)
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: “Apabila aku shalat semua yang fardhu (yang wajib / shalat lima waktu) dan puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram dan tidak lebih dari itu, apakah aku bisa masuk surga?” Nabi Saw menjawab, “Ya.” (HR. Muslim)
Akhirnya kembali pada diri masing-masing untuk menilai seberapa halalkah rejeki yang diterima, kemudian untuk apa rejeki kita gunakan….. sekedar pemenuhan “gaya hidup” dengan mengabaikan “kebutuhan hidup”…… atau untuk memenuhi  “hidup yang sesungguhnya”.
Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya. (HR. Ath-Thabrani)

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه إلى السماء : يا رب يا رب ! و مطعمه حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام و غذي بالحرام فأنى يستجاب لذلك (رواه مسلم
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bercerita tentang seseorang yang dalam perjalanan panjang lalu memanjatkan tangannya ke langit sambil berdoa mengucap, “Ya Tuhan. Ya Tuhan”. Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi barang yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan? (HR Muslim).

 

Mencari rejeki adalah kewajiban……dan menjadi kewajiban pula untuk mencari rejeki yang 100% halal karena rejeki itu dinikmati anak dan istri kita…. Insya Allah.